Home » » Nabi dan Pernikahan Di Bawah Umur?

Nabi dan Pernikahan Di Bawah Umur?

Written By Info Tanjab on 19 November, 2008 | 9:10 PM

Oleh : Dr. Isom Yusqi*

Belum lama ini, umat Islam Indonesia dihebohkan oleh pemberitaan perihal kasus pernikahan gadis di bawah umur. Pujiono Cahyo Widianto, seorang miliarder beristeri satu dan berusia 43 tahun asal Semarang yang lebih populer disapa Syekh Puji menikahi seorang bocah berusia 12 tahun bernama Lutviana Ulfa pada 8 Agustus 2008 lalu.

Lebih heboh lagi, Syekh Puji yang juga berstatus sebagai pengasuh Ponpes Miftahul Jannah itu berencana menikahi dua gadis ingusan lain dalam waktu yang tidak terlalu lama untuk mengenapkan jumlah bilangan isteri yang dikoleksinya menjadi 4 (empat).

Ketika berita itu merebak ke permukaan, pro-kontra pun segera bermunculan. Mayoritas menolaknya sekaligus menuding Syekh Puji mengidap paedophilia, yaitu karakter kejiwaan yang mempunyai ketertarikan seksual terhadap anak di bawah umur. Tak ketinggalan, MUI juga menfatwakan perihal keharaman tindakan Syekh Puji yang mengawini gadis ingusan di bawah umur itu.

Syekh Puji tak tinggal diam. Dia berdalih bahwa tindakannya itu sesuai dengan tuntunan syariat karena pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad tatkala menikahi ‘Aisyah. Syekh Puji tak sendiri. Pembelaan untuknya, di antaranya, datang dari Fauzan al-Anshari (Kepala Departemen Data dan Informasi MMI) dan Puspo Wardoyo (pemilik Rumah Makan Wong Solo yang pernah memperoleh Poligami Award). Keduanya malah berujar lantang, umat Islam yang mengingkari pernikahan seperti itu berarti mengingkari sunnah Nabi, dan pada gilirannya akan membahayakan keimanannya.

Melihat kasus tersebut, kaum Muslim seringkali disudutkan oleh pertanyaan berikut, “Akankah Anda menikahkan puteri Anda yang baru berumur 7 atau 9 tahun dengan seorang lelaki tua yang telah berusia 50 tahun?” Mereka mungkin akan terdiam karena bingung atau malah marah karena tersinggung. Lalu, pertanyaannya selanjutnya adalah, “Jika Anda tidak akan melakukannya, bagaimana Anda bisa menyetujui pernikahan gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun bernama ‘Aisyah dengan Nabi Anda, Muhammad bin ‘Abdillah?

Mayoritas umat Islam mungkin akan menjawab bahwa “menikahi gadis di bawah umur” seperti kasus di atas dapat diterima oleh masyarakat Arab kala itu. Jika tidak, masyarakat tentu akan keberatan dengan pernikahan Nabi Muhammad dengan ‘Aisyah, puteri dari Abu Bakr al-Shiddiq yang masih kanak-kanak.

Nabi Muhammad merupakan uswah hasanah (teladan yang baik) bagi seluruh umat Islam -di mana perilaku, tindakan, dan peri kehidupannya selalu dijadikan sebagai acuan dan rujukan. Namun sekali lagi, dalam konteks ”menikahi gadis di bawah umur ini”, kaum Muslim seolah dihadapkan pada pilihan sikap yang dilematis. Sebab bagaimana pun, mayoritas Muslim takkan pernah berpikir -apalagi melakukan tindakan- menikahkan anak perempuannya yang baru berusia 7 atau 9 tahun dengan seorang pria dewasa yang lebih pantas menjadi bapak atau bahkan kakeknya. Jikalau ada orang tua yang setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, meski tidak semua, akan mencibir dan memandang sinis terhadapnya, terlebih kepada pria uzur yang tega menikahi bocah di bawah umur.

Merespon polemik tersebut, tulisan ini akan menelaah sekaligus menguji kembali catatan-catatan klasik yang dipakai sebagai dasar keabsahan menikahi gadis di bawah umur. Harapannya, akan diperoleh pandangan yang obyektif dan berimbang dalam menyikapinya.

Perdebatan Seputar Usia ‘Aisyah


Sebagian besar hadis yang mengisahkan pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah. Hadis-hadis tersebut, antara lain: “Khadijah wafat 3 tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah. Rasul SAW sempat menduda kurang lebih 2 tahun sampai kemudian menikahi ‘Aisyah yang kala itu berusia 6 tahun. Namun Nabi SAW baru hidup serumah dengan ‘Aisyah saat gadis cilik itu telah menapaki usia 9 tahun” (HR. Al-Bukhari).

Riwayat lain yang menceritakan hal serupa dengan informasi sedikit berbeda adalah: “Nabi SAW meminang ‘Aisyah di usia 7 tahun dan menikahinya pada usia 9 tahun. Seringkali Nabi SAW mengajaknya bermain. Tatkala Nabi SAW wafat, usia ‘Aisyah saat itu baru 18 tahun.

Sejarahwan Muslim klasik, al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk mengamini riwayat di atas bahwa ‘Aisyah (puteri Abu Bakr) dipinang Nabi pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga dengannya pada usia 9 tahun. Pada bagian lain, al-Thabari mengatakan bahwa semua anak Abu Bakr yang berjumlah 4 orang dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya. Jika ‘Aisyah dipinang Nabi pada 620 M (saat dirinya masih berusia 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623 M (pada usia 9 tahun), hal itu menunjukkan bahwa ‘Aisyah dilahirkan pada tahun 613 M. Yakni, 3 tahun sesudah masa Jahiliyah berakhir (tahun 610 M).

Padahal al-Thabari sendiri menyatakan bahwa ‘Aisyah dilahirkan pada masa Jahiliyah. Jika ‘Aisyah dilahirkan pada masa Jahiliyah, setidaknya ‘Aisyah berusia 14 tahun saat dinikahi Nabi. Pendeknya, riwayat al-Thabari perihal usia ‘Aisyah ketika menikah tidak reliable dan terindikasi kontradiktif.

Kontradiksi perihal usia ‘Aisyah saat dinikahi Nabi akan semakin kentara jika usia ‘Aisyah dihitung dari usia kakaknya, Asma’ binti Abi Bakr. Menurut Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam Tahdzib al-Tahdzib, Asma’ yang lebih tua 10 tahun dari ‘Aisyah meninggal di usia 100 tahun pada 74 Hijrah. Jika Asma’ wafat di usia 100 tahun pada 74 H, maka Asma’ seharusnya berumur 27 tahun ketika adiknya ‘Aisyah menikah pada tahun 1 Hijrah (yang bertepatan dengan tahun 623 M).

Kesimpulannya, berdasarkan riwayat di atas itu pula dapat dikalkulasi bahwa ‘Aisyah ketika berumah tangga dengan Nabi berusia sekitar 17 tahun.

Kontradiksi lain seputar mitos usia kanak-kanak ‘Aisyah tatkala dinikahi Nabi dapat dicermati melalui teks riwayat Ahmad bin Hanbal berikut. Sepeninggal isteri pertamanya, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehatinya agar menikah lagi. Lantas Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada dalam pikiran Khaulah. Khaulah kemudian berkata, “Anda dapat menikahi seorang perawan (bikr) atau seorang janda (tsayyib).” Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis perawan (bikr) tersebut, Khaulah menyebut nama ‘Aisyah.

Bagi orang yang mengerti bahasa Arab, dia akan paham bahwa kata bikr tidak digunakan untuk bocah ingusan berusia 7 atau 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis ingusan yang masih kanak-kanak adalah jariyah. Sebutan bikr diperuntukkan bagi seorang gadis yang belum menikah serta belum punya pengalaman seksual—yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan “virgin”. Oleh karena itu, jelaslah bahwa ‘Aisyah yang disebut bikr dalam hadis di atas telah melewati masa kanak-kanak dan mulai menapaki usia dewasa saat menikah dengan Nabi.

Tak ada dalam masyarakat Arab tradisi menikahkan anak perempuan yang baru berusia 7 atau 9 tahun. Demikian juga tak pernah terjadi pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah yang masih berusia kanak-kanak. Masyarakat Arab tak pernah keberatan dengan pernikahan seperti itu, karena kasusnya tak pernah terjadi.

Riwayat pernikahan ‘Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun oleh Hisyam bin ‘Urwah tak bisa dianggap valid dan reliable mengingat sederet kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain dalam catatan klasik. Lebih ekstrim, dapat dikatakan bahwa informasi usia ‘Aisyah yang masih kanak-kanak saat dinikahi Nabi hanyalah mitos semata.

Nabi adalah seorang gentleman. Dia takkan menikahi bocah ingusan yang masih kanak-kanak. Umur ‘Aisyah telah dicatat secara kontradiktif dalam literatur hadis dan sejarah Islam klasik. Karenanya klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan dalih meneladani sunnah Nabi itu bermasalah, baik dari sisi normatif (agama) maupun sosiologis (masyarakat) .

Jikalau riwayat-riwayat seputar pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah yang masih kanak-kanak itu valid, itu juga tak bisa serta-merta dijadikan sandaran untuk mencontohnya. Tidakkah Nabi itu memiliki previlige (hak istimewa) yang hanya diperuntukkan secara khusus untuknya, tapi tidak untuk umatnya. Contoh yang paling gamblang adalah kebolehan Nabi untuk menikah lebih dengan 4 isteri!? [ Sumber Pondok Pesantren.net]


* Dosen STAINU Jakarta
Share this article :

2 comments:

  1. menarik sekali mengenai penikahan dini dalam artian dibawah umur,, tetapi selagi kita hidup di negara indonesia sudah seharusnya kita menjalankan uu yang berlaku di indonesia.. dan jelas nikah dibawah umur dimana dalam uu no 1 tahun 1974 umur seorang laki2 itu 18th dan seorang wanita 15th,,
    dos saya mau bertanya,, di jawa ini kasus penikahan dibawah umur di KUA manakah yang banyak melakukannya?? mohon jawabannya,,
    email yusart_13@yahoo.com
    terimaksih ats jawabanya.

    ReplyDelete
  2. Makasih atas masukannya...
    Dalam Al-Qur'an disebutkan Taatlah kalian dengan Allah, Rasulullah dan Ulul Amri. bener dari poin ketiga tersebut sebagai umat Islam diindonesia kita memang harus merujuk pada Undang-undang perkawinan no.1 Tahun 2007 pasal 7. atau Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 ayat 1. Disana jelas disebutkan umur calon mempelai.

    Namun demikian, memang tak dapat kita pungkiri masih banyak kerancuan pelaksanaan UU tersebut, hal ini bukan karena masyarakatnya, tetapi ulah para Penghulu dan Naib.

    Kalau di Jawa saya kurang faham mas, kebetulan saya berada di Sumatra tepatnya di Kabupaten Tanjab Barat Jambi.

    ReplyDelete

Terimakasih atas Komentar anda

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. TANJAB BARAT Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger